CISAH menilai Pemerintah kota Banda Aceh tidak serius dalam melakukan penyelamatan Sejarah

Laporan: Admin author photo
CISAH menilai Pemerintah kota Banda Aceh tidak serius dalam melakukan penyelamatan Sejarah
Dok. Map

AcehPress.com, BANDA ACEH | Kota Banda Aceh yang merupakan pusat dari peradaban kerajaan BANDAR ACEH DARUSSALAM seharusnya memiliki konsep yang jelas dalam mengatur tata ruang kota, disini kami melihat pemerintah kota sangat acuh terhadap respon publik yang selama ini menyuarakan penyelamatan sejarah yang terdapat di ibu kota tersebut, diperparah lagi belakangan ini wali kota Banda Aceh kembali mengirim surat permohonan Lanjutan pembangunan proyek IPAL Kota Banda Aceh. 

Dalam suratnya kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Cq Dirjen Cipta Karya di Jakarta.

Surat Nomor 660/0253 Tanggal 16 Februari 2021 ditandatangani Wali Kota Banda Aceh, H. Aminullah Usman, SE, Ak, MM.

Dalam surat itu dijelaskan, keputusan melanjutkan proyek IPAL sesuai kajian arkeologi di lokasi IPAL dan jaringan perpipaan air limbah Kota Banda Aceh oleh Kementerian PUPR, Zonasi Kawasan Gampong Pande di bekas Bandar Aceh Darussalam. Juga hasil rapat Pemko Banda Aceh dengan pihak terkait, Rabu, 3 Februari 2021.

Wali Kota Banda Aceh menyatakan, menurut ilmu arkeologi, nisan-nisan kuno dan kerangka manusia yang ditemukan di lokasi IPAL dan jaringan perpipaan air limbah Kota Banda Aceh merupakan situs arkeologi (warisan budaya), Namun(temuan itu) tidak berupa makam raja atau keluarga raja pada masa kesultanan Aceh melainkan bagian dari pemakaman masyarakat umum.

Saat ini, kata Wali Kota Banda Aceh, secara hukum situs tersebut belum ditetapkan menjadi cagar budaya sehingga keberadaan IPAL tidak menyalahi aturan yang berlaku dan tidak tergolong mengganggu keberadaan situs cagar budaya.

Hasil zonasi kawasan Gampong Pande merekomendasikan keberadaan TPA dan IPAL di zona inti II sebagai keterlanjuran naka perlu dicegah meluasnya aktivitas yang tidak terkait dengan cagar budaya selain yang ada saat ini. Sedangkan untuk kelanjutan pembangunan IPAL harus dipastikan bahwa lokasi tersebut steril dari peninggalan cagar budaya melalui ekskapasi penyelamatan.

Wali Kota Banda Aceh menandaskan, menindaklanjuti berbagai hal tersebut dan mengingat IPAL dan jaringan perpipaan air limbah Kota Banda Aceh sudah terbangun mencapai 70 persen maka pembangunan dapat dilanjutkan dengan beberapa syarat.

Syarat pertama, terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat Gampong Jawa, Gampong Pande, dan stakeholder lainnya.

Kedua, malakukan review desain dengan memperhatikan keberadaan situs cagar budaya.

Ketiga, memperhatikan lingkungan sekitar terhadap dampak dari pelaksanaan lanjutan pembangunan IPAL dan jaringan perpipaan air limbah Kota Banda Aceh.

Keempat, pada saat dimulai pembangunan kembali diminta untuk didampingi oleh Tim Ahli Cagar Budaha (TACB) Aceh.

Kelima, apabila pada saat pekerjaan pembangunan berlangsung ditemui kembali situs arkeologi baru maka seluruh instansi yang terkait baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemko Banda Aceh siap melakukan penyelamatan arkeologi sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan baik dari segi hukum maupun segi sosial budaya.

Disini Central of Information For Sumatra Pasai Heritage (CISAH) menyayangkan keputusan tersebut, dan menilai sangat bertentangan dengan Undang-undang 11 tahun 2010.

Pertimbangan Undang-Undang 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah:

Bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya;

bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya;

bahwa dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;

bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti;

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Cagar Budaya;

Dasar Hukum

Dasar hukum UU 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Penjelasan Umum UU Cagar Budaya

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai- nilai budayanya” sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.

Kami menilai TACB juga harus lebih profesional dalam memberikan rekomendasinya, jika dilihat dari tinggalan sejarah ini merupakan warisan penting peradaban yang tidak dapat ditawar penyelamatannya, (*)

Share:
Komentar

Berita Terkini