Fakta Dinamika Politik Menuju Pemilu 2024

Laporan: AYU RAHAYU author photo



Oleh :  Dr.  Taqwaddin

Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh

Di sela-sela kesibukan bekerja seringkali terpikir oleh saya penyelenggaran kekuasaan nasional akhir-akhir ini makin absurd, tidak jelas serta membingungkan. Absurditas ini tidak hanya terjadi dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi juga dalam kekuasaan legislatif dan juga kekuasaaan judikatif. 

Apa benar dalam beberapa tahun ini telah terjadi perubahan paradigma politik dan pemerintahan dari hukum mengatur kekuasaaan menjadi kekuasaan mengatur hukum ?
Menjawab pertanyaan di atas, mengacu pada fakta lakon politik kekuasaan pemerintahan pusat yang diperlihatkan dengan fakta-fakta berikut ini :

Pertama, Keuangan Yang Maha Kuasa

Sekarang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa uang memegang peranan sangat penting dalam kekuasaan, baik untuk mendapatkannya maupun untuk mempertahankan dan meneruskan kekuasaan. Bahkan uang dapat menentukan untuk membangun dinasti kekuasaan. 

Res ipso loquitur, fakta berbicara sendiri. Fakta bahwa uang memegang peranan sangat penting dalam kekuasaan sudah merupakan kasat mata. Terang menderang, yang semua orang bisa melihat buktinya. Karena kasatnya fakta ini, maka tidak perlu kita membuktikan bahwa adanya hubungan antara uang dan kekuasaan. Tidak perlu membuktikan hal ini sama dengan tidak perlu kita membuktikan bahwa matahari terbit dari ufuk Timur. 

Adalah fakta saat ini; siapa yang banyak uang dialah yang berkuasa. Semakin banyak uang maka semakin besar pula kekuasaan yang dimilikinya. Yang tak punya uang harap minggir. Jadi penonton saja. Sepintar apapun kita, doktor ataupun professor, namun jika tak ada uang tak perlu berkhayal memenangkan Pilkada apalagi Pilpres.

Pokoknya dalam era kini, benar-benar era Keuangan Yang Maha Kuasa alias uang memegang kedaulatan politik.

Orang yang banyak uang bisa membeli kekuasaan legislative. Dengan uang yang dimilikinya, seseorang bisa menjadi calon legislatif (Caleg). Dia mampu memberikan sejumlah uang besar yang diminta oleh pengurus partai agar menjadikannya sebagai caleg. Dia bahkan bisa “membeli” partai pada tingkat pengurus daerah. Atau bahkan, jika uang yang dimilikinya berton-ton banyaknya, maka dia pun dapat mendirikan partai untuk memenuhi birahinya mencapai kekuasaan legislative. Saya kira, saya tak perlu tegas sekali menunjukkan contoh-contoh konkrit terhadap hal ini. Anda tentu sudah pula tahu. 

Uang tersebut tidak mesti melulu dari kantong sendiri para caleg atau calon kepala daerah, bahkan calon presiden. Dana itu juga bisa berasal dari pihak lain sebagai modal untuk orang-orang tertentu mendapatkan posisi di eksekutif maupun legislatif. Ini tentu dengan harapan bahwa pemodal tersebut akan mendapatkan kenikmatan (keuntungan) dari posisi orang yang dimodalinya. 

Fakta sekarang ini bahwa yang menempati kursi-kursi empuk parlemen perwakilan rakyat hanyalah orang-orang kaya, yang banyak uang saat berkampanye musim lalu. Umumnya mereka berasal dari kalangan pengusaha atau bisnisman. Banyak pula mereka yang berasal dari kalangan artis ternama. Sedangkan mereka yang berasal dari kader ideologis partai mulai makin terpinggirkan. 

Mereka yang kaya-kaya, yang pengusaha atau para artis pun seperti diberi kemudahan menjadi pengurus inti partai, sekalipun mereka belum pernah mengikuti pelatihan atau pengkaderan kepartaian. Mereka ini adalah pengurus debutan dengan cara dan budaya berpikir yang pragmatis dan instan. Pada tingkat nasional ada malah yang baru satu hari menjadi anggota partai, langsung disepakati menjadi Ketua.
 
Konsekuensi dari arah pandang yang mengandalkan prinsip keuangan yang maha kuasa, maka menjadikan partai bukan lagi sebagai wadah menampung aspirasi rakyat untuk diolah menjadi usulan-usulan kebijakan publik. Tetapi justru telah menjadikan partai bagaikan perusahaan yang harus mencari sebanyak mungkin laba finansial bagi keberlangsungan partai tersebut. 

Kepentingan atau aspirasi rakyat hanya menjadi atas nama saja. Tidak sungguh-sungguh diperjuangkan. Jikapun diperjuangkan hanya seadanya saja. Itupun lebih untuk mendongkrak popularitas dalam rangka mencari suara pada pemilu berikutnya.

Apakah semua problema ini  merupakan kesalahan tunggal dari para pengurus partai atau kesalahan dari orang-orang yang menamakan dirinya para calon legislative ? Tidak.

Rakyat sebagai konstituen atau pemilih pada pemilu  juga harus disalahkan.  Rakyat pun harus ikut bertanggungjawab atas amburadulnya sistem penyelenggaraan politik dan pemerintahan akibat kedaulatan keuangan yang maha kuasa akhir-akhir ini.

Selama dua dekade ini, tepatnya setelah reformasi selesai, rakyat memperlihatkan sikap pikir yang instan dan pragmatis. Dalam kondisi pendidikan dan pendapatan keluarga yang sebagian besar rakyat kita belum begitu membaik, maka fakta jual beli suara masih marak dalam arena pemilu. Istilah serangan fajar sudah demikian makruf dan dimaklumi. Begitu banyak jargon yang menjadi meme terkait hal ini berseliweran dalam media sosial.
Tidak saja pada area legislatif. Pada wilayah eksekutif pun lebih marak lagi implementasi keuangan yang maha kuasa. 

Jangan mimpi menjadi bupati atau walikota atau gubernur kalau tak ada uang bermilyar-milyar. Bahkan untuk menjadi penjabat birokrasi pun kadangkala mesti membayar sejumlah uang tertentu kepada pemenang Pilpres atau Pilkada.   

Kedua, Kekuasaan Yang Cawe-Cawe 

Dalam setiap text book Sosiologi ada satu bab yang menjelaskan tentang status dan peranan. Hampir semua buku teks Sosiologi membahas bab yang penting ini. 

Setiap orang pasti memiliki status dan setiap status melahirkan peranan-peranan. 
Status sering dipahami sebagai keberadaan seseorang dalam komunitas tertentu. Karenanya, status sering pula diartikan dengan posisi atau kedudukan seseorang dalam masyarakatnya dibandingkan dengan posisi orang lainnya dalam masyarakat tersebut. Misalnya status; guru, dosen, polisi, tentara, ulama, dokter, advokat, akuntan, bidan, perawat, aktivis, organisatoris, artis, tokoh, toke, politisi, birokrat, pejabat, kepala daerah, menteri, presiden, dan lain-lain profesi. Ini merupakan status seseorang yang dibedakan dengan status orang lain dalam suatu masyarakat.

Status lebih luas dari sekedar profesi karena status bisa diperoleh dengan perjuangan usaha keras sehingga seseorang berhasil dalam profesi tertentu. Tetapi status bisa juga diperoleh tanpa upaya sama sekali. Misalnya, bangsawan, anak pejabat, anak presiden, anak menteri, anak rektor, dan lain-lain. 

Tinggi rendahnya suatu status ditentukan oleh anggapan masyarakat terhadap sesuatu yang dianggap berharga. Setiap komunitas masyarakat memiliki anggapan yang berbeda-beda terhadap sesuatu yang berharga.

Konteks nilai keberhargaan sesuatu juga terkait dengan rentang ruang dan waktu. Misalnya, bagi masyarakat Aceh masa lalu, penguasaan terhadap Ilmu Agama Islam merupakan sesuatu yang berharga. Orang yang menguasai Ilmu Agama Islam secara mendalam, mempraktekan, dan mengajarkannya kepada mayarakat disebut dengan Ulama. Sehingga, ulama menempati urutan tertinggi dalam status sosial masyakaratnya.

Sekarang posisi teratas yang paling dihargai masyakarat adalah uang dan kekuasaan pemerintahan. 
Uang dan kekuasaan pemerintahan dewasa ini dianggap sebagai sesuatu yang paling berharga. Semua aktivitas keseharian selalu dikaitkan dengan uang. Dianggap makin hebat suatu profesi jika bisa menghasilkan banyak uang. Profesi dokter dipandang oleh masyarakatnya lebih hebat daripada guru karena profesi dokter apalagi dokter spesialis bisa menghasilkan banyak uang dari prakteknya. 

Pejabat pemerintah, apalagi kepala daerah dianggap lebih hebat daripada dokter karena dengan kekuasaannya bisa membuat kebijakan yang menguntungkannya, dan sekaligus memperbanyak uang yang mengalir kepadanya dalam waktu cepat dan jumlahnya banyak sekali.

Jika profesi dokter untuk menjadi kaya mesti mengumpulkan pendapatannya per hari, per minggu dan per bulan. Sementara pejabat, apalagi kepala daerah yang tak berintegritas bisa memperoleh uang dalam jumlah banyak sekali dalam tempo sekejap saja. Hanya dengan modal kekuasaan dan tanda tangan. 

Tidak saja dalam soal perolehan uang. Kekuasaan jabatan pun lazimnya diikuti dengan berbagai macam fasilitas yang menyertainya. Pangkat, jabatan, rumah dinas, mobil dinas, sopir, baju jabatan, uang tunjangan, uang honor, asuransi, dan lain-lain adalah atribut-atribut kekuasaan. Semakin tinggi kekuasaan jabatan yang dimiliki seseorang maka semakin mewah pula atribut fasilitas yang menyertainya. Inilah yang memotivasi orang-orang untuk mendapatkan dan mempertahan kekuasaan, sekalipun dengan cara cawe-cawe.

Dalam kajian Sosiologi Hukum sering dijelaskan ada beberapa cara mempertahankan kekuasaan, yaitu : 1) membuat hukum yang menguntungkan penguasa, 2) melakukan konsolidasi internal, 3) memantapkan kepercayaan publik, dan 4) melaksanakan adminitrasi dan birokrasi yang baik.

Dari keempat hal di atas, maka urutan pertamanya adalah membuat hukum yang menguntungkan penguasa. Termasuk dalam kategori menguntungkan penguasa adalah menguntungkan mereka yang memodali kekuasaan. Sehingga, dengan modal tersebut para oligarkhi dapat menarik untung yang banyak dari berbagai kebijakan penguasa yang dimodalinya. 

Untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, termasuk juga mempertahankan pihak oligarkhi maka hukum pun dicawe-cawe. Cawe-cawe ini hemat saya tidak hanya akan terjadi di pusat, tetapi juga terjadi di daerah-daerah, baik pada level provinsi maupun pada tingkat kabupaten/kota. 

Pada level Pemerintahan Pusat, adanya Putusan MK yang kontroversial baru-baru ini telah memperlihatkan kesempurnaan cawe-cawe kekuasaan, termasuk cawe-cawe dalam ranah hukum di bawah kekuasaan judikatif. 

Ketiga, Partai tak lagi Berideologis
Fakta menunjukkan bahwa dengan banyak uang yang dimilikinya maka gampang saja seseorang masuk menjadi pengurus atau bahkan menjadi pemimpin partai. Tanpa perlu menyebut satu per satu partai, tentu anda dapat menyaksikan betapa partai-partai politik dewasa ini sama sekali tidak mempertimbangkan aspek ideologi kepartaian. 

Orang yang dulunya pemimpin di partai versi nasionalis mudah saja pindah dan menjadi pemimpin partai dengan basis religis. Begitu juga orang yang dulunya dikenal taat dalam Islam, pindah menjadi pemimpin partai yang didirikan oleh nonmuslim yang banyak uang. 

Kehidupan kepartaian saat ini semakin sedikit melakukan kaderisasi untuk meneruskan ideologi partainya. Akibatnya, semua partai menjadi terbuka. Terbuka untuk dimasuki oleh siapapun. Sangat terbuka bagi orang-orang kaya dan sangat terbuka bagi para penguasa ataupun anak penguasa, apalagi anak presiden. 

Saat ini para ketua partai begitu bangganya apabila para pengurus partainya terdiri dari orang-orang kaya ataupun para penguasa semisal kepala daerah. Bagi orang-orang yang seperti ini satu hari bisa selesai kartu anggota partai tersebut. Baru-baru ini (21 Oktober 2023), Ketua Partai Golkar begitu antusias dan bangganya memperkenalkan anak-anak pemimpin atau anak tokoh partai tersebut yang sekarang menjadi kepala daerah. Mereka semua berusia di bawah 40. Mereka diperkenalkan kepada anak presiden yang masih berusia 30-an, yang digadangkan sebagai Calon Wakil Presiden RI. 

Anak seorang presiden yang sedang berkuasa saat ini, sangat mudah, bahkan dielu-elukan menjadi anggota Partai Golkar dan bahkan didukung oleh semua partai pendukung Koalisi Indonesia Maju (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, dll) dengan  memberi posisi untuk menjadi Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024 nanti. Ini sungguh lawakan menyedihkan sekaligus memprihatinkan dalam perpolitikan kita. 

Mengapa semua ini bisa terjadi ? Ini karena partai tak lagi menjadikan idelogi sebagai pertimbangan utamanya. Partai tak lagi memprioritaskan kadernya untuk dicalonkan pada posisi-posisi strategis jabatan publik. 

Partai telah berubah fungsi seperti perusahaan yang fokus pada laba kekuasaan dan materi. 

Semangat membangun untuk kepentingan rakyat berubah menjadi demi penumpukan pundi-pundi yang berisi kekayaan materi. Jika hal seperti ini terus dibiarkan maka lama kelamaan rakyat akan memisahkan diri dari partai. Partai hanya memerlukan rakyat hanya lima tahun sekali. Begitu juga rakyat pun akan tahu bahwa partai selalu berurusan dengan penumpukan kekayaan bagi kalangan partai. Konsekuensinya adalah politik transaksi makin menjadi-jadi. Jual beli suara makin tak bisa dihindari. Parahnya lagi jika rakyat menikmati situasi kebobrokan ini. Maka wujudlah toke-toke politik yang akan melahirkan wajah pembangunan berbasis kemauan oligarkhi. 

Keempat. Menipisnya Rasa Malu

Kondisi keparahan perpolitikan dan pemerintahan  kita menjelang 2024 dilengkapi dengan menipisnya rasa malu di kalangan pemimpin eksekutif maupun legislative. Tidak itu saja, menipisnya rasa malu juga menghinggapi pemimpin judikatif kita. kasus yang menimpa Mahkamah Agung dan juga Mahkamah Konstitusi pertengahan Oktober 2023 lalu, menyempurnakan bukti menipisnya rasa malu di kalangan elite kita.

Akhir-akhir ini para elite pemerintahan tidak merasa malu melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Tidak malu melakukan korupsi.

 Aktivitas korupsi dimaksudkan disini misalnya; melakukan perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi  yang merugikan keuangan negara, pejabat yang melakukan jual beli jabatan, nepotisme, mark-ap harga, pungli, pemerasan, gratifikasi, dan lain-lain. 

Sepatutnya perbuatan-perbuatan korupsi itu memalukan. Tetapi dalam prakteknya, saat mereka dipakaikan baju oranye dan diborgol, mereka masih bisa tersenyum dan melambaikan tangan kepada para wartawan. Tidak terkesan ada rasa malu dalam dirinya. Yang lebih konyol lagi, malah pimpinan institusi yang ditugasi memberantas korupsi juga melakukan hal seperti itu. Benar-benar sandiwara buruk dalam fakta Indonesia hari-hari ini. 

Para penguasa dan pejabat pun tidak merasa malu kala menyodorkan anak atau kerabatnya untuk menempati posisi tertentu dalam suatu jabatan publik sekalipun belum memenuhi syarat formal untuk itu. Jika perlu, ketentuan yang mengatur syarat formal diutak-atik agar kerabat atau putra mahkota bisa menempati jabatan publik pemerintahan. Hal ini tidak hanya terjadi pada tataran pemerintahan pusat, tetapi pada pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota juga banyak terjadi.  

Kerabat yang saya maksudkan disini bukan saja kerabat dalam artian pertalian darah. Tetapi juga meliputi ikatan-ikatan primordial kepartaian atau keorganisasian. Sistem meritokrasi selalu kalah dengan anggota koalisi ataupun timses yang ikut memenangkannya pada ajang Pemilu. Sistem meritokrasi juga telah kalah dengan sistem dinasti. 

Pokoknya perilaku elite masa kini tidak lagi  malu-malu dalam menyodorkan dan memperjuangkan orang-orangnya. Dalam ajang perpolitikan masa kini, tampaknya tidak penting lagi eksistensi kompetensi diri. Sehingga, wajar jika ada yang bilang, ”sekarang tidak perlu lagi ahli macam-macam. Yang diperlukan hanyalah ahli famili”. 

Apakah menipisnya rasa malu hanya menjangkiti para elite pemerintahan pusat dalam lingkup kekuasaan nasional ? Tidak juga. Perilaku tidak merasa malu berbuat hal-hal yang kurang patut, juga menjangkiti para elite daerah. 

Saya katakan menjangkiti sebagai istilah yang lazim digunakan di dunia kesehatan karena perilaku ini memang penyakit. Tepatnya penyakit sosial kemasyarakatan. 

Sudah banyak fakta membuktikan betapa lambannya pembangunan dan kemajuan di negara atau daerah kita akibat dikelola oleh orang-orang yang tidak kompeten, baik tidak kompeten secara teknis, akademis maupun tidak kompeten secara manajerial dan sosio kultural.  

Demikian beberapa fakta yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Yang jika diteruskan tentu akan berdampak membahayakan pada iklim demokrasi Indonesia.
Share:
Komentar

Berita Terkini